Pages

Pages

Kamis, 06 Maret 2014

FAKTOR DAN MASALAH ELIMINASI FEKAL


2.1  FAKTOR YANG MEMPENGARUHI DEFEKASI
2.1.1        Perkembangan
1)      Bayi baru lahir dan bayi
Mekonium adalah materi feses pertama yang dikeluarkan oleh bayi baru lahir, normalnya terjadi dalam 24 jam pertama setelah lahir. Mekonium berwarna hitam, tidak berbau dan lengket. Feses transisional, yang dikeluarkan satu minggu setelah lahir, umumnya berwarna kuning kehijauan, mengandung lendir dan encer.
Bayi sering mengeluarkan feses, seringkali setiap sudah makan. Karna usus belum matur, air tidak diserap dengan baik dan feses menjadi lunak, cair dan sering dikeluarkan. Apabila usus tekat matur, flora bakteri meningkat. Setelah makanan padat diperkenalkan, feses menjadi lebih keras dan frekuensi defekasi berkurang.
Bayi yang diberi ASI memiliki feses berwarna kuning terang sampai kuning keemasan dan bayi yang meminum formula susu sapi akan memiliki feses berwarna kkuning gelap atau berwarna coklat yang lebih terbentuk.

2)      Batita
Sedikit kontrol defekasi telah mulai dimiliki pada usia 1 ½  sampai 2 tahun.  Pada saat ini, anak-anak telah belajar berjalan dan sistem saraf dan sistem otot telah terbentuk cukup baik untuk mengontrol defekasi di siang hari dan untuk menggunakan toilet secara umum dimulai saat anak menyadari (a) ketidaknyamanan yang disebabkan oleh popok yang kotor dan (b) sensasi yang menunjukan kebutuhan untuk defekasi. Kontrol disiang hari umumnya diperoleh pada usia 2 ½ tahun, setelah sebuah proses pelatihan eliminasi.


3)      Anak usia sekolah dan remaja
Anak usia sekolah dan remaja memiliki kebiasaan defekasi yang sama dengan kebiasaan mereka pada saat dewasa. Pola defekasi beragam dalam hal frekuensi, kuantitas, dan konsistensi. Beberapa anak usia sekolah dapat menunda defekasi karna aktivitas seperti bermain.

4)      Lansia
adalah masalah umum pada populasi lansia. Ini, sebagian, akibat pengurangan tingkat aktivitas, ketidakcukupan asupan cairan dan serat, serta kelemahan otot.

2.1.2        Diet
Bagian massa (selulosa,serat) yang besar didalam diet dibutuhkan dalam memberikan volume fekal. Diet lunak dan diet rendah serat kurang memiliki massa dan oleh karena itu kurang menghasilkan sisa dalam produk buangan untuk menstimulasi refleks defekasi. Makanan rendah sisa, seperti nasi, telur dan daging tanpa lemak, bergerak lebih lambat didalam saluran usus. Meningkatkan asupan cairan dengan makanan seperti itu dapat meningkatkan kecepatan pergerakannya. Makanan yang dapat mempengaruhi eliminasi fekal meliputi:
1)      Makanan penghasil gas, seperti kubis, bawang merah, kembang kol, pisang, dan apel.
2)      Makanan penghasil laksatif, seperti kulit gandum, buah prem, ara, cokelat dan alkohol.
3)      Makanan penghasil kontipasi sepeti keju, pasta, telur, dan daging tanpa lemak.

2.1.3        Cairan
Bahkan jika asupan cairan memadai atau haluaran (misalnya urin atau muntah) cairan berlebihan karena alasan tertentu, tubuh terus menyerap cairan dari kime saat bergerak disepanjang kolon. Kime menjadi lebih kering dibandingjkan normal menghasilkan feses yang keras. Selain itu, pengurangan asupan cairan memperlambat perjalanaan kime disepanjang usus, makin meningkat penyerapan kembali cairan dari kime.  Eliminasi fekal yang sehat biasanya memerlukan asupan cairan harian sebanyak 2000 sampai 3000 mL. namun apabila kime bergerak dengan cepat secara tidak normal disepanjang usus besar , waktu penyerapan kembali cairan kedalam daram menjadi lebih singkat; akibatnya feses manjadi lunak dan bahkan berair/encer.

2.1.4        Aktivitas
Aktivitas menstimulasi peristaltis, sehingga menfasilitasi pergerakan kimedi sepanjang kolon. Otot abdomen dan panggul yang lemah seringkali tidak efktif dalam meningkatkan tekanan intra abdomen selama defekasi atau dalam mengontrol defekasi. Otot yang lemah dapat terjadi akibat kurangnya latihan, imobilitas, atau gangguan fungsi neurologi. Klien yang tirah baring sering mengalami konstipasi.

2.1.5        Faktor Psikologi
Beberapa orang yang merasa cemas atau marah mengalami peningkatan aktifitas peristaltik dan selanjutnya mual atau diare. Sebaliknya beberapa orang yang mengalami depresi dapat mengalami perlambatan motilitas usus, yang menyebabkan konstipasi. Bagaimana seseorang berespon terhadap keadaan emosional ini adalah hasil dari perbedaan individu dalam respons sistem saraf enterik terhadap stimulasi vagal dari otak.

2.1.6        Kebiasaan Defekasi
Pelatihan defekasi sejak dini dapat membentuk kebiasaan defekasi pada waktu teratur. Banyak orang melakukan defekasi setelah sarapan, saat refleks gastrokolik menyebabkan gelombang peristaltik massa di usus besar. Apabila seseorang mengabaikan desakan untuk melakukan defekasi ini, air terus menerus di reabsorpsi, menjadikan feses mengeras dan sulit di keluarkan. Apabila refleks defekasi normal di hambat atau diabaikan, refleks terkondisi ini cenderung melemah secara progresif. Apabila terbiasa di abaikan, keinginan defekasi pada akhirnya akan menghilang. Orang dewasadapat mengabaikan refleks ini karena tekanan waktu atau kerja. Klien yang dirawat inap dapat menekan keinginan defekasi karena rasa malu menggunakan pispot, kurang privasi, atau karena defekasi sangat tidak nyaman.

2.1.7        Obat-obatan
Beberapa obat memiliki efek samping yang dapat menggangu eliminasi normal. Beberapa obat menyebabkan diare ; obat lain, seperti obat penenag tertentu dalam dosis besar dan morfin dan kodein secara berulang, menyebabkan konstipasi karena obat tersebut menurunkan aktivitas gastrointestinal melaui kerjanya pada sistem saraf pusat. Tablet zat besi, yang memiliki efek  kontraksi ( astingent ), bekerja lebih lokal di mukosa usus sehingga menyebabkan konstipasi.
Beberapa obat secara langsung memengaruhi elimanasi. Laksatif adalah obat yang menstimulasi aktifitas usus dan dengan demikian menbantu eliminasi fekal. Obat lain melunakan feses, yang menfasilitasi defekasi. Obat tertentu menekan aktivitas peristaltik dan dapat digunakan untuk mengobati diare.
Obat-obatan juga mempengaruhi tampila feses. Setiap obat yang menyebabkan perdarahan pencernaan ( mis.,produk aspirin ) dapat menyebabkan feses berwarna merah atau hitam. Garam zat besi menyebabkan feses berwarna hitam karena oksidasi zat besi; antibiotik dapat menyebabkan warna abu-abu hijau; dan antasid dapat menyebabkan warna keputihan atau bercak putih di dalam feses. Pepto-Bismol, sebuah obat yang biasa dijual bebas, menyebabkan feses berwarna hitam.

2.1.8        Prosedur Diagnostik
Sebelum prosedur diagnostik tertentu, seperti visualisasi kolon ( kolonoskopi atau sigmoidoskopi ), klien dilarang mengonsumsi makanan atau minuman. Bilas enema dapat juga dilakukan pada klien sebelum pemeriksaan. Dalam kondisi ini, defekasi normal biasanya tidak akan terjadi sampai klien mengonsumsi makanan kembali.
2.1.9        Anestesia dan Pembedahan
Anestesi umum menyebabkan pergerakan kolon normal berhenti atau melambat dengan menghambat stimulasi saraf parasimpatis ke otot kolon. Klien yang mendapatkan anestesia regional atau spinal kemungkinan lebih jarang mengalami masalah ini.
Pembedahan yang melibatkan penanganan usus secara langsung dapat menyebabkan penghentian pergerakan usus secara sementara. Kondisi ini, yang disebut ileus, biasanya berlangsung selama 24 sampai 48 jam. Mendengarkan bising usus yang merefleksikan motilitas usus merupakan pengkajian keperawatan yang penting setelah pembedahan.

2.1.10    Kondisi Patologi
Cedera medula spinalis dan cedera kepala dapat menurunkan stimulasi sensorik untuk defekasi. Hambatan mobilitas dapat membatasi kemampuan klien untuk berespons terhadap desakan defekasi dan klien dapat mengalami konstipasi, atau seorang klien dapat mengalami inkontinensia fekal karena buruknya fungsi sfingter anal.

2.1.11    Nyeri
Klien yang mengalami ketidaknyamanan saat defekasi (mis., setelah pembedahan hemoroid) seringkali menekankan keinginan defekasinya untuk menghindari nyeri. Akibatnya, klien tersebut dapat mengalami konstipasi. Klien yang meminum anagesik narkotik untuk mengatasi nyeri dapat juga mengalami konstipasi sebagai efek samping obat tersebut.


2.4      MASALAH ELIMINASI FEKAL
2.4.1        Konstipasi
Konstipasi dapat didefinisikan sebagai defekasi kurang dari tiga kali perminggu. Ini menunjukan pengeluaran feses yang kering, keras atau tanpa pengeluaran feses. Konstipasi terjadi jika pergerakan feses diusus besar berjalan lambat, sehingga memungkinkan bertambahnya waktu reabsorpsi cairan di usus besar. Konstipasi mengakibatkan sulitnya pengeluaran feses dan bertambahnya upaya atau penekanan otot-otot volunter defekasi. Seseorang juga dapat merasa bahwa fesesnya tidak keluar secara komplet setelah defekasi.
Banyak penyebab dan faktor-faktor yang menyebabkan konstipasi. Diantaranya adalah sebagai berikut:
1)      Ketidakcukupan asupan serat.
2)      Ketidakcukupan asupan cairan.
3)      Ketidakcukupan aktivitas atau imobilitas.
4)      Kebiasaan defekasi yang tidak teratur.
5)      Perubahan rutinitas harian.
6)      Kurang privasi.
7)      Penggunaan laksatif atau enema kronis.
8)      Gangguan emosional seperti depresi atau kebingungan mental.
9)      Medikasi seperti opiat atau garam zat besi.
Konstipasi dapat berbahaya bagi beberapa klien. Mengejan akibat konstipasi sering kali disertai dengan menahan napas. Manuver Valsava ini dapat menyebabkan masalah serius pada penderita penyakit jantung, cedera otak, atau penyakit pernapasan. Menahan napas meningkatkan tekanan intratoraks dan intrakranial.

2.4.2        Impaksi fekal
Impaksi fekal adalah suatu massa atau pengumpulan feses yang keras di dalam lipatan rektum. Impaksi terjadi akibat retensi dan akumulasi materi fekal yang berkepanjangan. Pada impaksi berat, feses terakumulasi dan meluas sampai ke kolon sigmoid dan sekitarnya. Impaksi fekal dapat dikenali dengan keluarnya rembesan cairan fekal (diare) dan tidak ada feses normal. Cairan feses merembes sampai keluar dari massa yang terimpaksi. Impaksi dapat juga dikaji dengan pemeriksaan rektum menggunakan jari tangan, yang sering kali dapat mempalpasi massa yang mengeras.
Seiring dengan perembesan cairan feses dan konstipasi, gejala meliputi keinginan yang sering namun bukan keinginan yang produktif untuk melakukan defekasi dan sering mengalami nyeri rektal. Muncul perasaan umum mengalami suatu penyakit, klien menjadi anoreksik, abdomen menjadi terdestensi, dan dapat terjadi mual dan muntah.
Penyebab impaksi fekal biasanya adalah kebiasaan defekasi yang buruk dan konstipasi. Penggunaan barium dalam pemeriksaan radiologi pada saluran pencernaan atas dan bawah dapat juga menjadi sebuah faktor penyebab. Oleh karena itu, setelah pemeriksaan ini, laksatif atau enema biasanya digunakan untuk memastikan pengeluaran barium.

2.4.3        Diare
Diare merujuk pada pengeluaran feses encer dan peningkatan frekuensi defekasi. Diare merupakan kondisi yang berlawanan dengan konstipasi dan terjadi akibat cepatnya pergerakan isi fekal di usus besar. Cepatnya pergerakan kime mengurangi waktu usus besar untuk menyerap kembali air dan elektrolit. Beberapa orang mengeluarkan feses dengan frekuensi sering, tetapi diare tidak terjadi kecuali feses relatif tidak terbentuk dan mengandung cairan yang berlebihan. Seseorang yang mengalami diare sering kali merasa sulit atau tidak mungkin mengandalikan keinginan defekasi dalam waktu yang sangat lama. Diare dan ancaman dikontinensia merupakan sumber kekhawatiran dan rasa malu. Sering kali kram spasmodik dikaitkan dengan diare. Bising usus meningkat. Dengan diare persisten, biasanya terjadi iritasi didaerah anus yang meluas ke perineum dan bokong. Keletihan, kelemahan, lelah, dan emasiasi (kurus dan lemah) merupakan akibat dari diare yang berkepanjangan.
Apabila penybab diare adalah karena adanya iritan disaluran usus, diare diduga sebagai suatu mekanisme pembilasan pelindung. Namun, diare dapat mengakibatkan kehilangan cairan dan elektrolit berat didalam tubuh, yang dapat terjadi dalam periode waktu singkat yang menakutkan, terutama pada bayi, anak kecil, dan lansia. Penyebab utama diare adalah sebagai berikut:
1)      Stress psikoligis (mis., ansietas)
2)      Obat-obatan: Antibiotik, zat besi, katartik
3)      Alergi terhadap makanan, cairan, obat-obatan
4)      Intoleransi terhadap makanan atau cairan
5)      Penyakit kolon (mis., sindrom malabsorpsi penyakit Crohn)

2.4.4        Inkontinensia Alvi
Inkontinensia alvi (bowel), atau disebut juga inkontinensia fekal, adalah hilangnya kemampuan volunteer untuk mengontrol pengeluaran fekal dan gas dari spingter anal. Inkontinensia dapat terjadi pada waktu-waktu tertentu, seperti setelah makan, atau dapat terjadi secara tidak teratur. Dua tipe inkontinensia alvi digambarkan: parsial dan mayor. Inkontenensia parsial adalah ketidakmampuan untuk mengontrol flatus atau mencegah pengontrolan minor. Inkontinensia mayor adalah ketidakmampuan untuk mengontrol feses pada konsistensi normal.
Inkontinensia fekal adalah masalah yang membuat distres emosional yang pada akhirnya yang dapat menyebabkan isolasi sosial. Penderita dapat menarik diri ke dalam rumahnya, atau jika di rumah sakit, mereka tetap berada di kamar mereka untuk meminimalkan rasa malu akibat pengotoran oleh fekal. Beberapa prosedur bedah digunakan untuk penatalaksanaan inkontinensia fekal. Penatalaksanaan ini meliputi perbaikan sfingter dan disversi fekal atau kolostomi.




2.4.5        Flatulens
Terdapat tiga sumber utama flatus: (a) kerja bakteria dalam kime di usus besar, (b) udara yang tertelan, dan (c) gas yang berdifusi di antara aliran darah dan usus.
Sebagian besar gas yang tertelan dikeluarkan melalui mulut dengan sendawa. Namun, sejumlah besar gas dapat terkumpul di perut, yang menyebabkan distensi lambung. Gas yang terbentuk di usus besar terutama diabsorbsi melalui kapiler usus ke sirkulasi. Flatulens adalah keberadaan flatus yang berlebihan di usus dan menyebabkan peregangan dan inflasi usus (distensi usus). Flatulens dapat terjadi di kolon akibat beragam penyebab, seperti  makanan (mis., kol, bawang merah), bedah abdomen, atau narkotik. Apabila gas dikeluarkan dengan meningkatkan aktivitas kolon sebelum gas tersebut dapat diabsorbsi, gas dapat dikeluarkan melalui anus. Apabila gas yang berlebihan tidak dapat dikeluarkan melalui anus, mungkin perlu memasukan slang rectal untuk mengelurkannya.
2.4.6        Hemoroid

Pelebaran vena didaerah anus sebagai akibat peningkatan tekanan didaerah tersebut. Penyebabnya adalah konstipasi kronis, peregangan maksimak saat defekasi, kehamilan, dan obesitas.

0 komentar:

Posting Komentar