2.1 FAKTOR
YANG MEMPENGARUHI DEFEKASI
2.1.1
Perkembangan
1) Bayi
baru lahir dan bayi
Mekonium adalah
materi feses pertama yang dikeluarkan oleh bayi baru lahir, normalnya terjadi
dalam 24 jam pertama setelah lahir. Mekonium berwarna hitam, tidak berbau dan
lengket. Feses transisional, yang dikeluarkan satu minggu setelah lahir,
umumnya berwarna kuning kehijauan, mengandung lendir dan encer.
Bayi sering
mengeluarkan feses, seringkali setiap sudah makan. Karna usus belum matur, air
tidak diserap dengan baik dan feses menjadi lunak, cair dan sering dikeluarkan.
Apabila usus tekat matur, flora bakteri meningkat. Setelah makanan padat
diperkenalkan, feses menjadi lebih keras dan frekuensi defekasi berkurang.
Bayi yang diberi
ASI memiliki feses berwarna kuning terang sampai kuning keemasan dan bayi yang
meminum formula susu sapi akan memiliki feses berwarna kkuning gelap atau
berwarna coklat yang lebih terbentuk.
2) Batita
Sedikit kontrol
defekasi telah mulai dimiliki pada usia 1 ½ sampai 2 tahun. Pada saat ini, anak-anak telah belajar
berjalan dan sistem saraf dan sistem otot telah terbentuk cukup baik untuk
mengontrol defekasi di siang hari dan untuk menggunakan toilet secara umum
dimulai saat anak menyadari (a) ketidaknyamanan yang disebabkan oleh popok yang
kotor dan (b) sensasi yang menunjukan kebutuhan untuk defekasi. Kontrol disiang
hari umumnya diperoleh pada usia 2 ½ tahun, setelah sebuah proses pelatihan
eliminasi.
3) Anak
usia sekolah dan remaja
Anak usia sekolah dan
remaja memiliki kebiasaan defekasi yang sama dengan kebiasaan mereka pada saat
dewasa. Pola defekasi beragam dalam hal frekuensi, kuantitas, dan konsistensi.
Beberapa anak usia sekolah dapat menunda defekasi karna aktivitas seperti
bermain.
4) Lansia
adalah masalah umum
pada populasi lansia. Ini, sebagian, akibat pengurangan tingkat aktivitas,
ketidakcukupan asupan cairan dan serat, serta kelemahan otot.
2.1.2
Diet
Bagian massa
(selulosa,serat) yang besar didalam diet dibutuhkan dalam memberikan volume fekal.
Diet lunak dan diet rendah serat kurang memiliki massa dan oleh karena itu
kurang menghasilkan sisa dalam produk buangan untuk menstimulasi refleks
defekasi. Makanan rendah sisa, seperti nasi, telur dan daging tanpa lemak,
bergerak lebih lambat didalam saluran usus. Meningkatkan asupan cairan dengan
makanan seperti itu dapat meningkatkan kecepatan pergerakannya. Makanan yang
dapat mempengaruhi eliminasi fekal meliputi:
1) Makanan
penghasil gas, seperti kubis, bawang merah, kembang kol, pisang, dan apel.
2) Makanan
penghasil laksatif, seperti kulit gandum, buah prem, ara, cokelat dan alkohol.
3) Makanan
penghasil kontipasi sepeti keju, pasta, telur, dan daging tanpa lemak.
2.1.3
Cairan
Bahkan jika
asupan cairan memadai atau haluaran (misalnya urin atau muntah) cairan berlebihan
karena alasan tertentu, tubuh terus menyerap cairan dari kime saat bergerak
disepanjang kolon. Kime menjadi lebih kering dibandingjkan normal menghasilkan
feses yang keras. Selain itu, pengurangan asupan cairan memperlambat
perjalanaan kime disepanjang usus, makin meningkat penyerapan kembali cairan
dari kime. Eliminasi fekal yang sehat
biasanya memerlukan asupan cairan harian sebanyak 2000 sampai 3000 mL. namun
apabila kime bergerak dengan cepat secara tidak normal disepanjang usus besar ,
waktu penyerapan kembali cairan kedalam daram menjadi lebih singkat; akibatnya
feses manjadi lunak dan bahkan berair/encer.
2.1.4
Aktivitas
Aktivitas
menstimulasi peristaltis, sehingga menfasilitasi pergerakan kimedi sepanjang
kolon. Otot abdomen dan panggul yang lemah seringkali tidak efktif dalam
meningkatkan tekanan intra abdomen selama defekasi atau dalam mengontrol
defekasi. Otot yang lemah dapat terjadi akibat kurangnya latihan, imobilitas,
atau gangguan fungsi neurologi. Klien yang tirah baring sering mengalami
konstipasi.
2.1.5
Faktor Psikologi
Beberapa orang
yang merasa cemas atau marah mengalami peningkatan aktifitas peristaltik dan
selanjutnya mual atau diare. Sebaliknya beberapa orang yang mengalami depresi
dapat mengalami perlambatan motilitas usus, yang menyebabkan konstipasi.
Bagaimana seseorang berespon terhadap keadaan emosional ini adalah hasil dari
perbedaan individu dalam respons sistem saraf enterik terhadap stimulasi vagal
dari otak.
2.1.6
Kebiasaan Defekasi
Pelatihan
defekasi sejak dini dapat membentuk kebiasaan defekasi pada waktu teratur.
Banyak orang melakukan defekasi setelah sarapan, saat refleks gastrokolik
menyebabkan gelombang peristaltik massa di usus besar. Apabila seseorang
mengabaikan desakan untuk melakukan defekasi ini, air terus menerus di
reabsorpsi, menjadikan feses mengeras dan sulit di keluarkan. Apabila refleks
defekasi normal di hambat atau diabaikan, refleks terkondisi ini cenderung
melemah secara progresif. Apabila terbiasa di abaikan, keinginan defekasi pada
akhirnya akan menghilang. Orang dewasadapat mengabaikan refleks ini karena
tekanan waktu atau kerja. Klien yang dirawat inap dapat menekan keinginan
defekasi karena rasa malu menggunakan pispot, kurang privasi, atau karena
defekasi sangat tidak nyaman.
2.1.7
Obat-obatan
Beberapa obat
memiliki efek samping yang dapat menggangu eliminasi normal. Beberapa obat
menyebabkan diare ; obat lain, seperti obat penenag tertentu dalam dosis besar
dan morfin dan kodein secara berulang, menyebabkan konstipasi karena obat
tersebut menurunkan aktivitas gastrointestinal melaui kerjanya pada sistem
saraf pusat. Tablet zat besi, yang memiliki efek kontraksi ( astingent ), bekerja lebih lokal
di mukosa usus sehingga menyebabkan konstipasi.
Beberapa obat
secara langsung memengaruhi elimanasi. Laksatif adalah obat yang menstimulasi
aktifitas usus dan dengan demikian menbantu eliminasi fekal. Obat lain
melunakan feses, yang menfasilitasi defekasi. Obat tertentu menekan aktivitas
peristaltik dan dapat digunakan untuk mengobati diare.
Obat-obatan juga
mempengaruhi tampila feses. Setiap obat yang menyebabkan perdarahan pencernaan
( mis.,produk aspirin ) dapat menyebabkan feses berwarna merah atau hitam.
Garam zat besi menyebabkan feses berwarna hitam karena oksidasi zat besi;
antibiotik dapat menyebabkan warna abu-abu hijau; dan antasid dapat menyebabkan
warna keputihan atau bercak putih di dalam feses. Pepto-Bismol, sebuah obat
yang biasa dijual bebas, menyebabkan feses berwarna hitam.
2.1.8
Prosedur Diagnostik
Sebelum prosedur
diagnostik tertentu, seperti visualisasi kolon ( kolonoskopi atau sigmoidoskopi
), klien dilarang mengonsumsi makanan atau minuman. Bilas enema dapat juga
dilakukan pada klien sebelum pemeriksaan. Dalam kondisi ini, defekasi normal
biasanya tidak akan terjadi sampai klien mengonsumsi makanan kembali.
2.1.9
Anestesia dan
Pembedahan
Anestesi umum
menyebabkan pergerakan kolon normal berhenti atau melambat dengan menghambat
stimulasi saraf parasimpatis ke otot kolon. Klien yang mendapatkan anestesia
regional atau spinal kemungkinan lebih jarang mengalami masalah ini.
Pembedahan yang
melibatkan penanganan usus secara langsung dapat menyebabkan penghentian
pergerakan usus secara sementara. Kondisi ini, yang disebut ileus, biasanya
berlangsung selama 24 sampai 48 jam. Mendengarkan bising usus yang merefleksikan
motilitas usus merupakan pengkajian keperawatan yang penting setelah
pembedahan.
2.1.10 Kondisi
Patologi
Cedera medula
spinalis dan cedera kepala dapat menurunkan stimulasi sensorik untuk defekasi.
Hambatan mobilitas dapat membatasi kemampuan klien untuk berespons terhadap
desakan defekasi dan klien dapat mengalami konstipasi, atau seorang klien dapat
mengalami inkontinensia fekal karena buruknya fungsi sfingter anal.
2.1.11 Nyeri
Klien yang
mengalami ketidaknyamanan saat defekasi (mis., setelah pembedahan hemoroid)
seringkali menekankan keinginan defekasinya untuk menghindari nyeri. Akibatnya,
klien tersebut dapat mengalami konstipasi. Klien yang meminum anagesik narkotik
untuk mengatasi nyeri dapat juga mengalami konstipasi sebagai efek samping obat
tersebut.
2.4 MASALAH
ELIMINASI FEKAL
2.4.1
Konstipasi
Konstipasi dapat
didefinisikan sebagai defekasi kurang dari tiga kali perminggu. Ini menunjukan
pengeluaran feses yang kering, keras atau tanpa pengeluaran feses. Konstipasi
terjadi jika pergerakan feses diusus besar berjalan lambat, sehingga
memungkinkan bertambahnya waktu reabsorpsi cairan di usus besar. Konstipasi
mengakibatkan sulitnya pengeluaran feses dan bertambahnya upaya atau penekanan
otot-otot volunter defekasi. Seseorang juga dapat merasa bahwa fesesnya tidak keluar
secara komplet setelah defekasi.
Banyak penyebab
dan faktor-faktor yang menyebabkan konstipasi. Diantaranya adalah sebagai
berikut:
1) Ketidakcukupan
asupan serat.
2) Ketidakcukupan
asupan cairan.
3) Ketidakcukupan
aktivitas atau imobilitas.
4) Kebiasaan
defekasi yang tidak teratur.
5) Perubahan
rutinitas harian.
6) Kurang
privasi.
7) Penggunaan
laksatif atau enema kronis.
8) Gangguan
emosional seperti depresi atau kebingungan mental.
9) Medikasi
seperti opiat atau garam zat besi.
Konstipasi dapat berbahaya bagi beberapa klien.
Mengejan akibat konstipasi sering kali disertai dengan menahan napas. Manuver
Valsava ini dapat menyebabkan masalah serius pada penderita penyakit jantung,
cedera otak, atau penyakit pernapasan. Menahan napas meningkatkan tekanan
intratoraks dan intrakranial.
2.4.2
Impaksi fekal
Impaksi fekal
adalah suatu massa atau pengumpulan feses yang keras di dalam lipatan rektum.
Impaksi terjadi akibat retensi dan akumulasi materi fekal yang berkepanjangan.
Pada impaksi berat, feses terakumulasi dan meluas sampai ke kolon sigmoid dan
sekitarnya. Impaksi fekal dapat dikenali dengan keluarnya rembesan cairan fekal
(diare) dan tidak ada feses normal. Cairan feses merembes sampai keluar dari
massa yang terimpaksi. Impaksi dapat juga dikaji dengan pemeriksaan rektum menggunakan
jari tangan, yang sering kali dapat mempalpasi massa yang mengeras.
Seiring dengan perembesan cairan
feses dan konstipasi, gejala meliputi keinginan yang sering namun bukan
keinginan yang produktif untuk melakukan defekasi dan sering mengalami nyeri rektal.
Muncul perasaan umum mengalami suatu penyakit, klien menjadi anoreksik, abdomen
menjadi terdestensi, dan dapat terjadi mual dan muntah.
Penyebab impaksi
fekal biasanya adalah kebiasaan defekasi yang buruk dan konstipasi. Penggunaan
barium dalam pemeriksaan radiologi pada saluran pencernaan atas dan bawah dapat
juga menjadi sebuah faktor penyebab. Oleh karena itu, setelah pemeriksaan ini,
laksatif atau enema biasanya digunakan untuk memastikan pengeluaran barium.
2.4.3
Diare
Diare merujuk
pada pengeluaran feses encer dan peningkatan frekuensi defekasi. Diare
merupakan kondisi yang berlawanan dengan konstipasi dan terjadi akibat cepatnya
pergerakan isi fekal di usus besar. Cepatnya pergerakan kime mengurangi waktu
usus besar untuk menyerap kembali air dan elektrolit. Beberapa orang
mengeluarkan feses dengan frekuensi sering, tetapi diare tidak terjadi kecuali
feses relatif tidak terbentuk dan mengandung cairan yang berlebihan. Seseorang
yang mengalami diare sering kali merasa sulit atau tidak mungkin mengandalikan
keinginan defekasi dalam waktu yang sangat lama. Diare dan ancaman
dikontinensia merupakan sumber kekhawatiran dan rasa malu. Sering kali kram
spasmodik dikaitkan dengan diare. Bising usus meningkat. Dengan diare
persisten, biasanya terjadi iritasi didaerah anus yang meluas ke perineum dan
bokong. Keletihan, kelemahan, lelah, dan emasiasi (kurus dan lemah) merupakan
akibat dari diare yang berkepanjangan.
Apabila penybab
diare adalah karena adanya iritan disaluran usus, diare diduga sebagai suatu
mekanisme pembilasan pelindung. Namun, diare dapat mengakibatkan kehilangan
cairan dan elektrolit berat didalam tubuh, yang dapat terjadi dalam periode
waktu singkat yang menakutkan, terutama pada bayi, anak kecil, dan lansia.
Penyebab utama diare adalah sebagai berikut:
1) Stress
psikoligis (mis., ansietas)
2) Obat-obatan:
Antibiotik, zat besi, katartik
3) Alergi
terhadap makanan, cairan, obat-obatan
4) Intoleransi
terhadap makanan atau cairan
5) Penyakit
kolon (mis., sindrom malabsorpsi penyakit Crohn)
2.4.4
Inkontinensia Alvi
Inkontinensia
alvi (bowel), atau disebut juga inkontinensia fekal, adalah hilangnya kemampuan
volunteer untuk mengontrol pengeluaran fekal dan gas dari spingter anal.
Inkontinensia dapat terjadi pada waktu-waktu tertentu, seperti setelah makan,
atau dapat terjadi secara tidak teratur. Dua tipe inkontinensia alvi
digambarkan: parsial dan mayor. Inkontenensia parsial adalah ketidakmampuan
untuk mengontrol flatus atau mencegah pengontrolan minor. Inkontinensia mayor
adalah ketidakmampuan untuk mengontrol feses pada konsistensi normal.
Inkontinensia
fekal adalah masalah yang membuat distres emosional yang pada akhirnya yang
dapat menyebabkan isolasi sosial. Penderita dapat menarik diri ke dalam
rumahnya, atau jika di rumah sakit, mereka tetap berada di kamar mereka untuk
meminimalkan rasa malu akibat pengotoran oleh fekal. Beberapa prosedur bedah
digunakan untuk penatalaksanaan inkontinensia fekal. Penatalaksanaan ini
meliputi perbaikan sfingter dan disversi fekal atau kolostomi.
2.4.5
Flatulens
Terdapat tiga
sumber utama flatus: (a) kerja bakteria dalam kime di usus besar, (b) udara
yang tertelan, dan (c) gas yang berdifusi di antara aliran darah dan usus.
Sebagian besar
gas yang tertelan dikeluarkan melalui mulut dengan sendawa. Namun, sejumlah
besar gas dapat terkumpul di perut, yang menyebabkan distensi lambung. Gas yang
terbentuk di usus besar terutama diabsorbsi melalui kapiler usus ke sirkulasi.
Flatulens adalah keberadaan flatus yang berlebihan di usus dan menyebabkan
peregangan dan inflasi usus (distensi usus). Flatulens dapat terjadi di kolon
akibat beragam penyebab, seperti makanan
(mis., kol, bawang merah), bedah abdomen, atau narkotik. Apabila gas
dikeluarkan dengan meningkatkan aktivitas kolon sebelum gas tersebut dapat
diabsorbsi, gas dapat dikeluarkan melalui anus. Apabila gas yang berlebihan
tidak dapat dikeluarkan melalui anus, mungkin perlu memasukan slang rectal
untuk mengelurkannya.
2.4.6
Hemoroid
Pelebaran vena didaerah anus sebagai akibat
peningkatan tekanan didaerah tersebut. Penyebabnya adalah konstipasi kronis,
peregangan maksimak saat defekasi, kehamilan, dan obesitas.